Partai tertua di Indonesia, Golkar, telah membentuk koalisi dengan dua partai kecil, dalam sebuah langkah yang oleh para analis dipandang mendukung ketua partainya sebagai kandidat presiden dan membuka peluang memiliki lebih dari dua calon presiden dalam pemilihan 2024, tidak seperti dua pemilihan terakhir.
Aliansi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) – bernama “Koalisi Indonesia Bersatu” – berusaha untuk “mengakhiri penggunaan identitas politik yang mempolarisasi pemilih Indonesia” seperti yang terlihat pada pemilihan 2014 dan 2019, yang oleh eksekutif puncak Golkar Ace Hasan Syadzily digambarkan sebagai “menyebabkan trauma mendalam” di dalam masyarakat setelah jajak pendapat.
“Kami ingin pemilihan umum menjadi kontes ide, pemikiran, rekam jejak dan prestasi, kesempatan untuk saling membuktikan mana yang terbaik,” katanya Jumat lalu (13 Mei).
Peringkat kepala Golkar Airlangga Hartarto, 59, yang adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, telah lebih rendah dalam jajak pendapat utama dibandingkan dengan calon presiden lainnya, seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan gubernur Jakarta Anies Baswedan.
Dalam kampanye pemilihan awal akhir tahun lalu, baliho kampanye yang menampilkan Airlangga, dengan slogan “bekerja untuk Indonesia”, bermunculan di pinggir jalan di sejumlah daerah, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, memicu kritik publik karena Indonesia masih berjuang untuk mengekang pandemi Covid-19.
Profesor Firman Noor, seorang peneliti senior di Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, mengatakan kepada The Straits Times: “Untuk saat ini, (koalisi) ini dimaksudkan sebagai kendaraan (politik) untuk Airlangga.
“Niat Golkar, khususnya Pak Airlangga… adalah mencari partai yang tidak memiliki kandidat kuat, tetapi dengan siapa mereka dapat bekerja sama dan berbagi posisi di Kabinet.”
Dia mencatat bahwa itu saling menguntungkan bagi kedua belah pihak: Dua partai kecil membutuhkan lebih banyak suara untuk bergabung dengan Kabinet, sementara Golkar membutuhkan partai-partai dengan “posisi tawar lunak”.
“Jika Golkar memilih Gerindra, itu akan sulit karena Gerindra memiliki daya tawar yang besar. Sehingga mencari pihak-pihak yang biasa-biasa saja agar negosiasi berjalan lancar,” kata Prof Firman.
Gerindra, yang dipimpin oleh Prabowo, seorang pensiunan jenderal angkatan darat, berada di urutan kedua dalam pemilihan 2019 setelah memenangkan 12,6 persen suara di Parlemen, menyalip Golkar yang jatuh ke tempat ketiga dengan 12,3 persen suara.
Prabowo telah bersaing sebagai kandidat presiden pada 2014 dan 2019, tetapi kalah dari satu-satunya kandidat lainnya, Joko Widodo, yang akan menyelesaikan masa jabatan lima tahun keduanya pada 2024 dan tidak dapat mencalonkan diri kembali.
Dr Sirojudin Abbas, direktur eksekutif di lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting, mengatakan kepada ST bahwa langkah terbaru oleh ketiga partai adalah “langkah awal yang konkret” untuk membangun “platform bersama” untuk memobilisasi massa menjelang pemilihan.
“Kalau (koalisi) bisa matang, ketiga partai bisa menjadi aliansi poros dalam pemilihan presiden. Bila digabungkan, mereka sudah memenuhi ambang batas minimal presiden,” katanya.